PANGAN DALAM PERSPEKTIF ANTROPOLOGI

 

diskusi pra-festival pangan: pangan dalam perspektif antropologi  (dokumentasi pribadi)


 

1.       EVOLUSI MANUSIA DAN PANGAN

Perjalanan manusia adalah perjalanan panjang yang di mulai dari 7 juta tahun lalu sejak ditemukannya fosil manusia purba tertua hingga apa yang terjadi saat ini. Lompatan Panjang ke Depan, sebuah istilah yang dipopulerkan oleh Jared Diamond dalam bukunya Guns, Germs, and Steel pada tahun 1997 dan diterjamahankan dalam bahasa Indonesia dengan judul Bedil, Kuman, dan Baja pada tahun 2013, merupakan titik balik sejarah manusia saat ini yang dimulai pada tahun 50000 SM, walaupun perkembangannya ke seluruh dunia sekitar 11000 SM sejak manusia sudah mendiami Benua Amerika yang dapat ditandai pula ketika zaman es mencair.

Pangan dan antropologi adalah dua hal yang menurut saya saling berkaitan, karena persoalan mulai manusia pertama kali ada hingga hari ini tidak lepas dari persoalan perut. Manusia membutuhkan kalori untuk mendapatkan energi, energi tersebut dihasilkan dari pangan. Kondisi lebih dikenal sebagai reproduksi metabolisme.

Pada masa awal "primitif" manusia memperoleh makanan dari alam (hutan-hutan perawan dalam istilah Marx), yang kemudian melakukan kerja, yang kemudian kita sebut sebagai pemburu-peramu. Masyarakat pemburu-peramu memburu hewan-hewan yang dapat ia taklukkan dan mengambil tumbuhan (buah-buahan) di dalam hutan-hutan perawan tersebut. Seiring berjalannya waktu manusia mulai membentuk senjata-senjata (perkakas kerja) untuk berburu, evolusinya mulai dari tulang, kayu, batu, dan pada logam (logam ditemukan setelah memasuki revolusi pertanian).

Dalam sejarahnya, manusia melalui tiga revolusi besar, yakni revolusi kognitif, revolusi pertanian, dan revolusi sains.

Revolusi kognitif terjadi ketika manusia masih dalam kelompok-kelompok kecil yang hidup dengan cara nomaden seperti yang dapat kita lihat pada masyarakat pemburu-peramu. Di revolusi ini, kunci yang menjadi hal terpenting ialah ketika ditemukannya api, yang membuat perubahan dalam pola konsumsi manusia, dari yang sebelumnya memakan daging dari hasil berburu secara mentah, kini sudah ada variasi dengan membakar daging tersebut. Dalam teknik pengolaan makanan, membakar adalah salah satu bentuk tertua dalam mengolah makanan.

Ketika manusia mulai mengenal konsep pertanian, ia kemudian mendomestikasi tanaman-tanaman liar dan hewan-hewan liar (mamalia besar) yang sebelumnya ia seleksi dari pengalamannya di masyarakat pemburu-peramu, kemudian mulai menerapkan teknik pertanian berladang-berpindah, salah satu bentuk pertanian tertua. Ia lalu membentuk koloni di suatu tempat dan berpindah tempat ketika musim panen telah selesai atau setelah proses melahirkan oleh para perempuan di dalam koloni tersebut.

Konsep ini terus diterapkan manusia ketika mulai menyadari bahwa dalam suatu teritori anggap saja 1 hektar mampu menghasilkan pangan sekian yang berbeda dari sebelumnya, yang melahirkan konsep produksi pangan dari seleksi domestikasi sebelumnya. Bertambahnya produksi membuat manusia lambat laun menetap dan membentuk kolonisasi di dekat lahan-lahan tempat mereka bertani, karena semakin bertambahnya anggota di dalam kelompok dan meningkatnya produksi pangan. Dengan banyaknya pasokan pangan, maka makin banyak kalori untuk masyarakat dan angka harapan hidup menjadi meningkat pula. Manusia yang mulai menetap untuk bertani ini menjadi awal revolusi kedua, revolusi pertanian. Kolonisasi, penyesuaian diri, dan ledakan populasi menjadi faktor penentu dalam Lompatan Besar ke Depan.

Selanjutnya akan ada banyak perubahan dalam pertanian maupun masyarakat seperti ditemukannya perkakas kerja baru seperti logam/besi, membentuk struktur-struktur fungsional dalam masyarakat, teknik irigasi dan pemupukan pada proses pertanian dan lain sebagainya. Manusia pada mulanya tidak mengenal konsep kepemilikan seperti halnya sekarang ini, hasil yang didapatkan dari berburu-meramu maupun hasil dalam berladang-berpindah ataupun tanah itu sendiri adalah sesuatu hal yang dimiliki bersama (the common), dan surplus yang diperoleh dibagikan secara merata di dalam masyarakat, kondisi ini disebut juga sebagai masyarakat "komunisme-primitif". Hingga memasuki zaman feodal, di mana struktur masyarakat yang sebelumnya dibentuk, ada yang disebut kepala suku dan dari kepala suku tersebut menjadi raja. Kepala suku bertugas untuk mengumpulkan surplus dan membagikannya kepada masyarakat dalam suatu koloni. Seiring berjalannya waktu, populasi bertambah di dalam masyarakat dan muncul struktur baru yang disebut kerajaan. Perubahan struktur terjadi pula, karena seiring transisi struktur sebelumnya, mulai muncul pula sistem religi, di mana raja dianggap bahwa raja sebagai utusan Sang Pencipta. Oleh karean itu, tanah maupun apa yang ada di atasnya adalah miliki raja, surplus produksi yang sebelumnya dimiliki bersama, kini menjadi milik raja yang kemudian nanti disebut sebagai rente. Hasil rente ini digunakan untuk membentuk angkatan militer untuk ekspansi atau mempertahankan diri ke/dari koloni-koloni lainnya. Beratus-ratus tahun kemudian hal yang sama yang menjadi hal terpenting ketika ekspansi kolonialisme Eropa/Inggris ke daerah di luar Eropa. Pada masa feodal inilah lahirnya petani (peasant), istilah yang menggambarkan petani yang hanya hidup untuk mencukupi dirinya sendiri, sedangkan surplus produksi pertaniannya selain kebutuhan reproduksi sosialnya, ia serahkan sepenuhnya ke kerajaan dalam bentuk rente tadi.

Transisi setelah ini adalah menuju modernisme, di mana sistem kepemilikan terbentuk, dan menciptakan sistem baru yang disebut kapitalisme, lewat industrialisasi baik pertanian maupun bidang lainnya. Dari sini pula nantinya bermula sebuah rezim pangan yang berlangsung hingga hari ini. Industrialisasi mulai dibangun dan menjadi penanda revolusi sains lewat penemuan mesin uap.

 

Kita kembali kepada produksi pangan, bagaimana produksi pangan terbentuk?

Dalam praktiknya menuju masyarakat yang hidup menetap, evolusi yang dialami di setiap daerah tentu berbeda-beda. Ada yang tidak melalui proses produksi pangan, ada yang mengikuti pola musiman, dan ada yang melalui dari proses produksi pangan. Tentunya kolonisasi hidup menetap terlebih dahulu harus menyesuaikan iklim, musim, dan risiko lainnnya ketika memutuskan hidup menetap.

Pada mulanya, masyarakat pemburu-peramu, tentu tidak langsung beralih ke masyarakat agrikultur. Dari rentang tahun 50000 SM sampai dengan 11000 SM, ada beberapa faktor yang melatar belakangi hal tersebut seperti perubahan iklim dan mulai berkurangnya mamalia besar dan tanaman liar untuk diburu/diramu. Semakin meningkatnya keterampilan dan populasi masyarakat mengakibatkan semakin berkurangnya sumber-sumber pangan tersebut, yang secara langsung maupun tidak langsung akan membuat manusia beralih masyarakat agrikultur. Kemudian faktor kedua yakni dari perubahan iklim, dengan mencair es mengakibatkan banyak mamalia besar dan tanaman-tanaman liar tidak mampu beradaptasi dengan iklim yang baru sehingga lambat-laun menurunkan populasinya, dengan berkurangnya sumber-sumber pangan tersebut, manusia kemudian beralih ke masyarakat agrikultur.

Kawasan Bulan Sabit Subur atau Hilal Subur ataupun dalam istilah bahasa Inggrisnya disebut Frestile Crescent yang sekarang menjadi “Timur Tengah” dulunya merupakan daerah domestikasi paling awal yang juga menjadi kunci produksi pangan di daerah lainnya, seperti Eropa, Afrika, dan Lembah Sungai Indus di anak benua India. Kawasan Bulan Sabit Subur mulai mendomestikasi gandum dan jelai sekitar 11000-8500 SM, berikut juga hewan ternak seperti domba dan kambing.

Tanaman-tanaman pangan yang pertama kali didomestikasi yakni dari padi-padian dan polong-polongan. Padi-padian yang didomestikasi awal diantaranya gandum, padi, jagung, jelai, dan sorgum) yang memiliki kalori yang tinggi, namun protein yang rendah. Oleh karena itu, proteinnya diambil dari polong-polongan seperti kedelai. Tanaman padi-padian memiliki keunggulan karena tumbuh cepat, kaya karbohidrat dan mampu menghasilkan panen sebanyak satu ton makanan untuk setiap hektar yang digarap. Inilah yang membuat peradaban di Bulan Sabit Subur berlangsung lebih cepat, karena prasyarakat paling awal dari peradaban adalah terciptanya produksi pangan. Kita bisa lihat peradaban yang lahir dari sekitar daerah Bulan Sabit Subur seperti Mesopotamia, Mesir Kuno, Yunani Kuno, dan India Kuno.

 

2.       REZIM PANGAN

Rezim pangan terbagi menjadi tiga rezim dan diklasifikasikan menurut corak dan aktornya. Rezim Pangan Pertama, di mulai dari kolonialisme yang diaktori oleh negara dalam hal ini Inggris. Sekitar 90% negara yang ada saat ini pernah dijajah oleh Inggris, dan hanya sekitar 27 dari seluruh negara yang ada yang tidak pernah dijajah oleh Inggris. Inggris melakukan praktik kolonialisme dengan menanam pangan atau bahan baku (raw material) di negara jajahan, kemudian membawanya ke Inggris untuk diolah menjadi suatu komoditi tertentu, kemudian dijual kembali, entah itu negara jajahannya maupun di negara-negara lainnya. Rezim Pangan Kedua, ketika masa pembangunan (developmentalisme), sasarannya adalah negara-negara yang baru merdeka atau negara yang ingin memulihkan perekonomian negaranya setelah Perang Dunia II. Di sini ada peralihan aktor tetapi masih dipelopori oleh negara, yakni dari Inggris ke Amerika Serikat. Setelah Perang Dunia II, Amerika Serikat muncul sebagai salah satu negara pemenang perang dan muncul sebagai negara adikuasa, memalui kebijakan luar negerinya dan juga surplus gandumnya pada saat itu, Amerika memberikan bantuan pangan ke negara-negara tersebut, tidak hanya bantuan pangan, tetapi juga bantuan pelatihan dan alat pertanian. Melalui bantuan-bantuan ini pula, Amarika Serikat melebarkan pengaruhnya ke dunia untuk membendung dominasi sosialisme pada saat perang dingin dengan Uni Soviet berlangsung. Rezim Pangan Ketiga, di mulai dari 1970-80an, di mana ada peralihan aktor dari yang sebelumnya negara ke korporasi Internasional. Korporasi melakukan investasi di bidang industrasi pertanian dan perkebunan, khususnya untuk kebutuhan ketahanan pangan global, jika lebih spesifik lagi untuk menyuplai kebutuhan pangan di negara-negara maju yang memiliki sumber daya alam yang sedikit, namun finansial yang kaya. Rezim ini menjadi yang terparah di antara dua rezim sebelumnya, di mana praktik-praktik berlangsung hingga saat ini, contoh paling sederhana dalam satu dasawarsa terakhir, banyak sekali makanan cepat saji yang muncul di meja makan kita, yang tidak kita temukan pada beberapa dasawarsa terakhir. Tidak hanya itu, kebutuhan makanan cepat saji tersebut juga mendorong proyek rekayasa genetik (GMO) pada tanaman-tanaman maupun hewan pangan untuk menghasilkan pangan yang sama sekali baru yang berbeda dari jenis sebelumnya, seperti semangka tanpa biji, dan jenis benih-benih baru dan lain-lain.  Jika ditelisik lebih dalam lagi, kebutuhan akan suplai yang terus meningkat juga mendorong land grabbing di beberapa daerah, sebuah fenomena perampasan lahan skala luas untuk ditanami perkebunan, yang kebutuhannya seperti yang kita jelaskan sebelumnya.

 

3.       KULINER NUSANTARA

Ada yang menarik dari wacana peraturan yang cetuskan DPR beberapa minggu lalu terkait penggantian kompor rumah tangga ke kompor listrik. Sepintas biasa saja, tetapi representasi dapur Nusantara menurut saya adalah dapur yang dimasak memakai kayu bakar. Perubahan alat memasak sedikit-banyak juga akan berpengaruh pada perubahan cita rasa dalam kuliner-kuliner tersebut. Seperti halnya apa yang kita rasakan saat ini, saya merasakan betul perubahan tersebut, karena nenek saya dulu memasak menggunakan kayu bakar, kemudian Ibu memakai minyak tanah lalu gas elpiji, dan sekarang kompor listrik? Dalam hal memasak air saja, kita akan tahu perbedaan di antara keempat media ini, apalagi dalam hal masakan.

Kemudian pada sekitar tahun 2016, ada juga cuitan status dari Pak Presiden Joko Widodo yang mengatakan tentang kegalauannya mengenai gagalnya kita mem-branding kuliner-kuliner Indonesia di kanca Internasional, karena orang luar tak mengenal apa itu kuliner Indonesia. Dari cuitan tersebut, muncul lagi pertanyaan apa sih kuliner atau masakan Indonesia itu sendiri? Jangankan orang luar, kita saja tidak mengenal masakan Indonesia. Mungkin kita lebih mengenalnya sebagai “Kuliner atau masakan daerah yang di makan oleh orang Indonesia”. Sebab dalam hal cita rasa, lidah kita begitu fundamental terhadap rasa dari masakan ibu, masakan daerah kita. Contoh saja, orang Manado yang disuruh mencicipi masakan Jawa atau khususnya Yogyakarta, ia akan mengatakan bahwa ini bukan makanan, ini gula-gula, karena karakter masakan Manado itu pedas. Jika ditelusuri, cabe yang ada di dalam masakan Manado tidaklah ujug-ujug muncul begitu saja. Itu adalah perpaduan rasa dari cabe yang dibawa oleh orang Spanyol selepas perjalanan panjangnya mencari pala dan cengkeh, hingga ia menemukan cabe di Amerika.

Dari cuitan tersebut Pak Presiden tersebut, muncul beberapa komentar salah-satu komentarnya mengatakan, “Presiden kok mengurusi hal sepele, makanan”. Mungkin bagi kebanyakan dari kita, makanan adalah hal yang sepele, seperti halnya perubahan peraturan tadi, urusan makanan adalah urusan perempuan yang hanya terkonsentrasi di dapur dan hanya menjadi rahasia oleh para perempuan.

Masakan Indonesia lahir dari tradisi yang begitu kaya, sumber-sumber pangan yang kaya, rempah-rempah yang begitu kaya. Sayangnya, kenapa kita tidak menjadikan ini sebagai suatu sub ilmu pengetahuan, tanggung jawab ini seakan-akan dikembalikan ke rumah masing-masing, dan ketika di rumah tidak menyediakan ruang untuk mempelajari hal tersebut, maka pengetahuan itu tidak akan terwarisi lagi.

Saya dari latar belakang jurusan pariwisata, ada dua mata kuliah yang membahas tentang kuliner: gastronomy tourism (wisata kuliner) dan teknik pengelolaan makanan. Sayangnya, hampir tidak ada yang membicarakan terkait kuliner-kuliner Indonesia, dan ketika saya menanyakan hal tersebut. Dosen saya menjawab masakan luar lebih diminati dan telah memiliki teknik yang saintis. Dari pernyataan tersebut, saya mulai berpikir apakah pengetahuan dalam kuliner dan sumber daya alam kearifan lokal hanyalah cerita fiktif belaka? Tentunya ini banyak dipengaruhi oleh kolonialisme. Begitupun ketika mempelajari teknik pengelolaan makanan, tak ada satupun masakan Indonesia yang menjadi perhatian, bahkan rendang yang menjadi salah satu makanan terenak di dunia tidak diangkat, dan sebaliknya kita justru mempelajari makanan yang tak kita kenal, yang pengucapan namanya saja kita tidak bisa, apalagi rasanya yang hambar, berbeda jauh dengan masakan-masakan Indonesia yang kaya akan rempah dan cita rasa. Kalau ada pertanyaan untuk apa mempelajari hal tersebut? Jawabannya tentu, makanan itu bukan dibuat untuk kita, tetapi untuk kepentingan sektor yang terlibat.

Dari penyebaran pangan yang sudah kita ketahui sebelumnya, pangan-pangan yang kita ketahui saat ini, tidaklah datang atau tiba-tiba bermula di sini, ia datang dan berakulturasi dengan rempah-rempah dan pangan-pangan lokal sehingga melahirkan kuliner-kuliner yang sangat berbeda dengan daerah lainnya. Gandum didomestikasi dari Bulan Sabit Subur, padi domestikasi dari Cina, Jewawut dan Sorgum didomestikasi dari Afrika, Jagung dan umbi-umbian didomestikasi dari Amerika, Nusantara yang dulunya merupakan salah satu pusat perdagangan laut terbesar di dunia dan daerah tujuan kolonialisasi, membuat sumber-sumber pangan ini bisa kita temukan di negeri ini dan melahirkan kuliner-kuliner dengan cita rasa lokal. Kuliner-kuliner tersebut tidaklah dibuat sebagaimana hanya untuk memenuhi rasa lapar, tetapi juga sarat akan makna filosofis dan khasiat di dalamnya. Pengetahuan terhadap pangan lambat-laun terkikis oleh globalisasi dan pendidikan gaya barat yang masih kita adopsi hingga hari ini yang semakin menutup mata dan telinga seakan memunggungi kearifan lokal.


Komentar