Gua Gunung Bolong, Benarkah Sedalam 130 meter?


“Lapangan berikutnya adalah Gua Gunung Bolong, letaknya tak jauh dari Gua Jomblang dan kalau tidak salah itu adalah gua vertikal dengan kedalaman ±130 meter.”
Begitulah sepatah kata dari Dirham untuk menggambar lapangan yang akan kami tapaki berikutnya. Gua Gunung Bolong sepintas membuat kami berhenti sejenak untuk membayangkan sedalam apa itu 130 meter dilain sisi kami tampak semangat karena gua kali ini tampak akan berbeda dengan gua-gua sebelumnya. Kami adalah anggota muda Mapagama dari angkatan Semburan Lawu dan kami tergabung dalam divisi caving. Dan berbicara tentang caving atau susur gua yang tidak jauh pembahasannya menyangkut gua serta umumnya gua di Indonesia terbentuk dari batuan gamping atau karst. Menarik adalah alasan kami untuk bergabung dalam divisi susur gua, tempatnya eksklusif dan bukan main harga alatnya yang lumayan mahal. Kembali lagi di Gua Gunung Bolong, kami yang semula tim yang beranggotakan sepuluh orang kini hanya berjumlah delapan orang dikarenakan anggota tim lain sedang berhalangan. Jam menunjukkan pukul tujuh pagi, kami beranjak dari Sekretariat Mapagama di D11 menuju Semanu di Wonosari. Sebelum menuju gua kami singgah sejenak di Pasar Wonosari untuk membeli beberapa bahan untuk konsumsi dan juga sarapan, lalu kami menuju Gua Gunung Bolong. Kurang lebih mendekati pukul sepuluh pagi barulah kami memulai untuk menjajaki gua. Dimulai dari Adam yang bertindak sebagai rigging-man, kemudian saya sebagai second-man dan berikutnya ada Nora, Rima, Lyan dan Dirham serta ada juga Manto dan Reza yang baru saja tiba sebagai penjaga basecamp. Nampaknya tali yang dibawah oleh Adam tak cukup untuk sampai pada dasar gua, agak lama untuk menunggu kemudian diputuskan bahwa tali akan ditransfer karena jika Adam naik akan menyita banyak waktu, karena kendala tali friksi maka diputuskan sebelumnya bahwa hanya akan ada satu lintasan dengan single feet. Dari latihan endurance kami sebelumnya yang memakai tali 80 meter, rerata untuk endurance naik memakan waktu kurang dari 30 menit sehingga patokan target untuk melintasi lintasan untuk naik-turunnya menjadi 2x50 menit, karena kedalaman gua yang mencapai 130 meter. Namun ekspektasi kadang tak sesuai dengan realita ketika di lapangan. Kurang tahu untuk waktu perorangnya tetapi beberapa ada yang sampai sejam lebih. Kendala selama turun, ada pada simpul yang lumayan membuat lama karena harus melintasi simpul dan melewati dua padding yang digabungkan untuk mencegah friksi dibagian pertengahan lintasan dan berikutnya ada simpul lagi pada sambungan tali yang menyebabkan kendala juga seperti jumer goodbye. Hampir sama kendala dari anggota lainnya yakni melewati simpul yang memakan waktu agak lama tetapi kendala saya sendiri berada pada tekanan pemikiran atau mental, ketika mendengar 130 meter untuk membuat saya ciut atau tegang dan itu pun terlihat ketika saya mengurungkan niat untuk menjadi second-man dan memilih istirahat terlebih dahulu. Ketika mengirim tali ke Adam, saya mulai kepanasan dan kelelahan dan ketika mencoba untuk turun saya agak gugup dan ketika melihat ke bawah dasar, hanya ada warna hitam sepintas seperti black hole. Dan ketika bersiap untuk turun tali terasa berat karena bukan main untuk badan saya yang kurus dan tak berotot mengangkat tali yang panjangnya 100-an lebih itu justru membuat pikiran saya dipenuhi pikiran-pikiran negatif. Nora mengambil alih second-man dan saya pun memutuskan untuk beristirahat sejenak karena punggung saya lumayan pegal karena terlalu lama bersiap untuk turun ditambah lagi matahari tepat di atas kepala. Nora telah meniup peluit dan itu tandanya bahwa ia telah sampai di dasar gua. Aku menyuruh Manto untuk mengecek peralatan yang kupakai “Okai semua lengkap dan selamat bersenang-senang” begitu kata Manto sambal tersenyum dan saya pun turun usai menenangkan diri dan tidur sejenak walaupun beberapa menit. Selama turun, kita akan disuguhi panorama stalagtit yang berada di atap gua tetapi hanya beberapa yang masih hidup dan lainnya sudah mati dan ketika sampai di dasar tidak terlalu membuat terkesan hanya saja pemandangannya hampir sama dengan potret Gua Jomblang yang menawarkan cahaya yang menyinari dasar gua. Lumpur, guano, dan suara aliran sungai begitulah kugambarkan dasarnya dan biota yang kujumpai selama di gua ini ada jangkrik, katak, kelelawar, dan kunang-kunang. Rupanya lapangan kali ini sangat di luar ekspektasi dari semula ditargetkan akan selesai jam lima namun akhirnya molor hingga jam sebelas malam karena harus bergantian naik. Ditambah lagi kabut yang mulai memenuhi dasar gua ketika petang tiba. Naik justru semakin membuat menegangkan karena disamping kelelawar yang sensitif melihat cahaya dari headlamp, kabut yang mulai memenuhi ruang dalam gua, ternyata tali juga dipenuhi lumpur dari sepatu but yang naik sebelumnya dan itu menyebabkan ascender dan crool mengalami sedikit kendala. Dinding-dinding gua terlihat seperti relief dan atapnya seperti awan, aku mulai berhalusinasi dan ini berbahaya karena kami hanya sarapan tadi pagi dan beberapa potong roti ketika di dasar gua dan kini menunjukkan waktu kurang lebih jam sembilan malam. Usai sampai di basecamp, saya langsung ganti baju karena pakaian yang saya kenakan sudah dipenuhi oleh lumpur. Sembari menunggu yang lain naik saya rehat sejenak bebaring di tanah beralas matras, malam itu nampak sangat indah karena langit dipenuhi bintang ditambah lagi suasana yang tenang karena kami berada ditengah hutan dan ladang yang jauh dari rumah penduduk. Jam menunjukkan hampir tengah malam dan saya pun bangun karena Lyan sudah tiba dan Dirham, Adam, Manto dan Reza saling membantu mengangkat tali sedangkan Lyan, Rima, Nora dan aku membantu menyiapkan makan malam. Usia makan malam, kami lantas memutuskan untuk tidur karena sudah kelelahan ditambah lagi besok juga masih ada lapangan ke Gua Song Tawei.


Entrance Gua Gunung Bolong

Esok paginya, kami bangun lumayan cepat dan kondisi anggota tim masih tetap sehat-bugar. Karena bangun lebih awal, kami memutuskan menyiapkan makan untuk sarapan, selepas itu membangunkan yang lain. Disela-sela sarapan, kami melakukan breefing untuk materi pemetaan gua pagi ini. Nora, Rima, Lyan dan aku serta didampingi Dirham dan Reza yang akan menuju Gua Song Tawei. Jaraknya kurang lebih satu kilometer dari Gua Gunung Bolong. Tetapi, jalur untuk menuju ke gua ini lumayan agak sulit karena harus melewati beberapa ladang warga dan posisi mulut gua yang juga tersembunyi oleh tumbuhan disekitarnya. Kami mengira awalnya gua horizontal, namun setelah masuk ternyata adalah gua vertikal, tapi menurutku ini adalah gua semi vertikal-horizontal karena dua mulut gua yang terdapat di atas dan di bawah. Setelah masuk lebih dalam, jalur yang kami lalui tidak pernah datar, hanya miring dan di ujungnya ada genangan air, mungkin karena turunan jadi semua air berkumpul di ujung. Dan kami memilih ujung tersebut sebagai stasiun nol, stasiun nol sendiri adalah istilah yang dipakai dalam pemetaan gua untuk memulai memetakan gua dan biasanya dimulai dari mulut gua. Pertama kali memetakan gua, kami nampak kebingungan karena belum merasakan simulasi dan pembagian tugas secara langsungnya, teori memang sangat berbeda praktek. Jam menunjukkan tepat tengah hari, dan kami selesai memetakan Gua Song Tawei—walau ala kadarnya karena ini pengalaman pertama kami. Usai dokumentasi dan melihat-lihat gua, kami kembali ke basecamp untuk packing dan kembali ke Kota Yogyakarta untuk cuci alat, evaluasi dan pulang. Singkat cerita, kami singgah di Semanu untuk makan siang dan perjalan pulang kami diwarnai kantuk karena kurang tidur. Tidak berhenti sampai disitu karena alat-alat ini menunggu kami untuk dicuci dan kami harus senantiasa merawatnya karena nyawa kami bergantung padanya.


Dari kanan ke kiri: Rima, Ilham, Nora, dan Lyan setelah memetakan Gua Song Tawei

Terima kasih telah membaca dan sampai bertemu lagi dipetualangan berikutnya.

Komentar