Asal Mula Kultus Ujian dan Pendewaan Ijazah pada Masa Kolonialisme serta Kaitannya dengan Pendidikan Hari Ini
...
“Mendidik anak itulah mendidik rakyat.
Keadaan dalam hidup dan penghidupan kita pada zaman sekarang itulah yang buahnya pendidikan yang kita terima dari orang tua pada waktu kita masih kanak-kanak. Sebaliknya anak-anak yang pada waktu ini kita didik itulah kelak akan menjadi burgers-nya kita punya saat.” Demikian Ki Hadjar, bahwa pendidikan kita sekarang akan menentukan wajah dan nasib bangsa kita di masa depan. Demikianlah juga pendapat segenap kaum pendidik yang mencita-citakan dunia yang baru.
Sebagai juga halnya dengan keyakinan Ki Hadjar Dewantara ditahun 1922, demikianlah keyakinan Taman-Siswa sampai sekarang sesudah Indonesia Merdeka ini, bahwa perubahan sistim Orde Lama dengan segala akibatnya kepada masyarakat Orde Baru, tidak akan tercapai dengan kekuatan senjata yang betapapun kuatnya. Usaha pendidikan merupakan usaha penting untuk mendatangkan masyarakat Orde Baru. Usaha pendidikan ini memang usaha yang lama nampak hasilnya, tetapi yang lama ini akan juga menghasilkan untuk selama-lamanya.
Keadaan pendidikan sekarang belumlah seperti kita harapkan, bahkan mencemaskan masa depan Rakyat kita.
Politik Pendidikan kita pada nyatanya masih mewarisi dasar-dasar dan politik pendidikan yang lama.
Kita masih melihat sisa-sisa penyakit ujian dan pengejaran ijazah (examen-cultus dan diploma-jacht) dengan segala ekses-eksesnya. Anak-anak bersekolah dan orang tua menimang anaknya yang bersekolah, masih dan bahkan bertambah besar, hasratnya hanya untuk mengejar ijazah, dan kemudian lanjutanya, supaya bisa menjadi pegawai, entah negeri entah swasta.
Tujuan bersekolah semacam ini, yang sekarang nampaknya bertambah kuat, mengakibatkan bahwa orang hari-hari hanya mengajari anak untuk lulus dalam ujian, untuk mendapat ijazah, karena ijazah itu dianggap satu-satunya senjata untuk mendapatkan kedudukan. Peraturan Gaji Pegawai Negeri, yang menetapkan sadar tingkat-tingkat ijazah — bukan kepandaian dan kecakapan — , semata-mata sebagai ukuran derajat dan pangkat seseorang, lebih-lebih meransang orang yang mati-matian merebut ijazah dengan jalan ujian. Eksesnya, dengan jalan apapun yang ditempuh. Orang mau membeli atau mencuri bahan ujian untuk dapat lulus. Orang memalsu diploma dan membeli diploma dipasaran, untuk dapat senjata hidup.
Berjuta-juta uang negara dihabiskan untuk ujian, untuk mencetak ijazah. Pembocoran ujian, pemalsuan ijazah terus-menerus terjadi, tak pernah ada tahun yang lowong. Inilah bahaya yang sudah nampak dan sudah terjadi.
Tentang exemen-cultus dan diploma jacht (kultus ujian dan pengejaran ijazah) mempunyai riwayatnya sendiri dalam sejarah pendidikan Indonesia, dimulai sejak di zaman O.I.C.
Kumpeni, yang datang di sini untuk berdagang hasil Indonesia, tidak memikirkan pendidikan untuk rakyat Indonesia. Tetapi untuk kepentingan tenaga-tenaga pembantu administrasinya, sekedar bisa mencatat-catat, yang terlalu mahal kalau mendatangkan dari negeri Belanda, diadakanlah semacam sekolahan, untuk membuat tenaga-tenaga keperluan perusahaannya. Banyak sekolahan diperhitungkan dengan keperluan berapa tenaga yang diperlukan untuk juru tulis, untuk krani, yang murah bayarannya. Itulah dimulainya sejarah adanya sekolahan yang diadakan oleh Belanda. Apa yang dikatakan pendidikan dan pengajaran yang diselenggarakan oleh O.I.C. adalah tempat penyediaan tenaga keperluan O.I.C. Untuk tenaga-tenaga pemerintahan diserahkan kepada pembesar-pembesar bumi putera untuk mencukupi keperluan tenaga-tenaga juru tulisnya. Sedang pendidikan agama diselenggarakan di surau-surau, oleh rakyat dengan tidak ada hubungannya dengan sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh Belanda.
Untuk mendapatkan tenaga yang lebih banyak berhubung dengan perkembangan usaha O.I.C., dibuka kesempatan untuk menempuh ujian bagi anak-anak dari hasil sekolah yang diselenggarakan di kabupaten-kabupaten, dengan diadakan ujian, terutama ujian pengetahuan bahasa Belanda sekedarnya, untuk pegawai yang bisa mendengan dan mengerti perintah-perintah dalam bahasa Belanda. Itulah permulaan timbulnya ujian negara yang kemudian bernama “Klein Ambtenaars Examen”, ujian untuk menjadi Klein Ambtenaar atau “Priyai Cilik”. Dengan pemberian “Ijazah Priyai Cilik” atau “K.E. Diploma”. Examen dan Diploma — Ujian dan Ijazah — itulah artinya sekolah. Menjadi pegawai itulah tujuan bersekolah.
Ujian negara dan ijazah negara kemudian menjadi barang patent diakui untuk alat mendapat kedudukan dan gaji. Ijazah lain tidak diakui sebagai tanda masuk yang sah.
Ujian waktu itu merupakan satu peristiwa besar. Pemberian ijazah merupakan peristiwa penting, dengan disertai upacara, dimaksudkan oleh O.I.C. sebagai perangsang anak-anak priyai jadi pegawai Belanda. Sedang untuk rakyat banyak tentu tidak diberi kesempatan, karena dibatasi dengan anak-anak yang dari turunan priyai saja.
Demikianlah terjadi permulaan abad ke-19. Dua kali setahun diadakan ujian tertutup di sekolah-sekolah, diberikan piagam; di bulan Juni dan Juli diadakan ujian umum terbuka, dengan pemberian hadiah dengan upacara, yang dihadiri oleh pembesar-pembesar. Sampai-sampai pembesar-pembesar tertinggi turut hadir juga, seperti terjadi pada 23 Desember 1825, satu upacara diadakan untuk pemberian hadiah itu di sekolah rendah di Jakarta, dimana hadir waktu itu Gubernur Jendral Van der Capellen, diiringi oleh De Kock, untuk memberikan hadiah kepada 4 orang murid. Seorang murid berbicara menyampaikan terima kasih kepada Gubernur Jendral atas pendidikan yang diterimanya. Gubernur Jendral Van der Capellen menyampaikan ucapan penghargaan kepada Inspektur Van der Vinne, Penilik-nilik sekolah dan guru-guru di Weltevreden, dan kepada 4 murid yang mendapat hadiah (Dr. I. J. Bougmans: “Geschiedenis van het onderwijs in Nederlandsch Indie” halaman 104).
Dengan Belsuit Kerajaan 10 September 1984, atas usul Gubernur Jendral Van der Putte menetapkan adanya dua macam ujian negara, yaitu: “Klein Ambtenaarsexamen” dan “Groot Ambtenaarsexamen”. Pertama untuk memberi kesempatan kepada anak-anak dan orang-orang bumiputera untuk menjadi klerk, telegrafis, dan kedua Groot ambtenaarsexamen untuk pegawai tinggi, pamongpraja mulai tingkat kontrolir dan administrasi tingkat Hoofdcommies (Komis Kepala). Syarat Kleinambreenar sederhana saja, pengetahuan hitung, menulis jelas dan pengetahuan bahasa Belanda sekedarnya.
Itulah sejarah “kultus ujian” dan pendewaan Ijazah, dan pendewaan ijazah, dan sejarah timbulnya “pengertian, bahwa sekolah, berarti pengejaran ijazah dengan melalui ujian negara, dan ijazah berarti jaminan kursi kepegawaian gantungan hidupnya.”
Di zaman etis dalam fase penjajahan di Indonesia, sekolah sudah bertambah, murid sudah banyak, tetapi jiwanya masih tetap; haluan pendidikan masih tetap. Tujuan orang menyekolahkan anak masih seperti di zaman O.I.C. Timbul kejadian, bahwa diwaktu rakyat Indonesia yang pandai membaca dan menulis baru 6,5%, pada waktu itu Belanda menyatakan kelebihan orang pandai, dengan timbulnya penganggur terpelajar. Sekolah-sekolah ditutup, karena kekurangan uang, tetapi juga karena alasan kelebihan orang pandai yang diperlukan pemerintah. Sekolah, selebihnya yang diperlukan untuk kantor pemerintah, menjadi pabrik “intellectuele leeglopers”, penganggur terpelajar.
Zaman sudah berganti. Indonesia sudah merdeka. Proses perkembangan pendidikan berjalan lanjut, berkembang tetapi jiwanya masih tetapi seperti yang lama. Sekolah untuk ijazah, ijazah untuk menjadi pegawai negeri. Tidak ada pikiran, pendidikan untuk manusia merdeka yang bisa hidup berdiri sendiri, untuk manusia yang produktif untuk hidup sendiri dan masyarakatnya. Pengejaran gelar ditunjukkan untuk keperluan tingkat kedudukan “golongan” dalam PGPS, untuk mengejar tambahnya gaji.
Sekolah bertambah-tambah, murid berjuta-juta. Ijazah diberikan ratusan ribu tiap tahun untuk segala tindakan. Pemilik dan pemegangnya masih tetap mengira ijazahnya menjadi senjata hidupnya. Orang menyekolahkan anaknya masih tetap untuk ijazah dan pegawai.
Keadaan sudah berganti. Kursi kepegawaian terbatas. Sudah tidak bisa bertambah lagi. Negara kita sudah menjadi negara pegawai. Sudah kelebihan pegawai negeri. Yang diremajakan belum mau. Yang dipensiun masih ogah-ogahan.
Tidak usah kita anti kepegawaian. Tidak perlu kita emoh jadi pegawai negeri. Tetapi tergila-gila menggantungkan jadi pegawai sudah tidak bisa lagi.
Keadaan ini sudah menuntut perobahan dalam pendidikan. Pembangunan masyarakat dan negara, tidak menuntut ijazah, tetpai meminta tenaga yang cerdas otaknya, tetapi juga hidup tangannya dan bersemangat kerja.
Atas dasar-dasar itu, melihat bahaya yang mendekat, maka Majelis-Luhur Taman-Siswa telah mengajukan kepada pemerintah, untuk menghapus ujian negara, yang telah dijadikan tempat pengejaran ijazah dengan semangat dan jiwanya, sebagai satu usaha ke arah perubahan dasar-dasar dan politik pendidikan yang selama ini berlaku, untuk melaksanakan Pendidikan Nasional Pancasila untuk Pembangunan.
Taman-Siswa mengajak segenap rakyat Indonesia, segenap orang tua murid, untuk mengajari, bahwa tidak bisa lagi kita menimang anak kita untuk mendapatkan kebahagiaan hidupnya hanya kalau bisa menjadi priyai.
Manusia merdeka yang sanggup berdiri sendiri, yang tidak menggantungkan hidupnya pada dunia kepegawaian saja, itulah yang akan dapat hidup di zaman yang akan datang, yang bisa membangun masyarakat kita.
Menimang anak-anak kita untuk priyai saja, sama dengan mengangkat kepala anak kita sejak umur 6 tahun, sejak masuk sekolah, sudah sebagai calon penganggur.
Pembangunan masyarakat dan negara menuntut perubahan politik dan sistim pendidikan dalam dasar dan pelaksanaannya.
Akhirnya kami serukan kepada segenap pemimpin-pemimpin, dalam lembaga-lembaga perwakilan rakya, yang kompeten untuk menentukan peraturan-peraturan dan undang-undang, untuk menyadari hal ini. Soal pendidikan! Soal masa depan bangsa dan rakyat kita!
Terima kasih.
Jogjakarta, 2 Mei 1968.
Dikutip dari:
Tauchid, Moch. 1968. KI HADJAR DEWANTARA: Pahlawan dan Pelopor Pendidikan Nasional. MADJELIS-LUHUR PERSATUAN TAMAN-SISWA. JOGJAKARTA. Hal. 62-66.
Komentar
Posting Komentar