Tari Sining, Tarian dari Dataran Tinggi Gayo

Tari Sining (cc: Aman Renggali)

Hééé Kayu ari uten rime simӧrip wan arul pematang, Bur ijo tingir I sagi ni karangTabi ko ulung ranting cabang, batang lesuh rues rantangSibergel Jempa, Gesing, Kuli, Keruwing atawe MedangTuahmu bang si cacak bepilih kati kutebangMalé kurasuk, kupantik kin reje tiangPenupang ni supu, sesérénni reringSike ko kaso turun, bere bujur, ko bere lintang.
Wahai kayu dari hutan rimba yang hidup di lembah dan ketinggian,
Gunung biru curam di tepi tebing
Maaf kepada daun ranting cabang, batang lurus ruas angina
Yang bernama Jempa, Gesing, Kuli, Keruwing ataupun Medang
Tuahmulah yang layak bepilih hendak kutebang
Akan kurasuk susun, kutegakkan unutk reje tiang
Penopang atap supu, tempat sandaran dinding
Kaulah kayu turun, balok bujur, kaulah balok lintang.
Syair di atas merupakan syair dalam tari sining. (sumber: laman web Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan)
Tari Sining diperkirakan muncul dan eksis pada sekitar abad ke-18 dan awal abad ke-19. Dalam kehidupan masyarakat Gayo tempo dulu, tari ini digelar dalam dua prosesi adat; (1) prosesi saat mendirikan rumah baru, dan (2) sebagai bagian dari prosesi upacara memandikan dan penobatan raja (munikni reje).

Pada prosesi mendirikan rumah, Tari Sining ditarikan di atas kayu (bere lintang) yang melintang di antara dua fondasi dengan ketinggian mencapai 8 hingga 12 meter di atas permukaan tanah. Sehari sebelumnya, tari ini juga ditarikan di atas dulang dalam posisi merapat ke tanah.
Pada prosesi kedua, Tari Sining dilakukan ketika akan melantik atau menobatkan seorang raja. Tarian digelar di tempat terbuka (lapangan) atau dekat dengan sumber air (pinggiran danau). Sebagai bagian dari prosesi penobatan, Tari Sining juga dilaksanakan secara berkala setiap tahunnya kepada raja sebagai simbol pembersihan diri atas segala khilaf selama memimpin.
Gerakan Tari Sining sangat dinamis dan heroik. Tidak sembarang orang dapat melakukan tarian ini di atas bere lintang. Tidak jarang penari – (hanya) laki-laki- melakukan puasa sehari sebelum menari sehingga unsur magis-religius juga melekat pada tari ini. Diiringi syair mistik dan kuat, Tari Sining dapat digambarkan sebagai tari yang indah, energik, dinamis dan simbolik yang mengambarkan dan menirukan gerakan burung ungau dan burung wo. Filosofi tari ini adalah sebagai simbol kekuatan, keteduhan, kedamaian dan keharmonisan antara penghuni rumah dengan alam. Itu dapat dilihat dari alat musik yang digunakan yang lebih mencerminkan suara dari alam, misalnya alat musik dari kayu.
Tari Sining terakhir kali ditarikan di Nosar, salahsatu kampung tua di sisi selatan danau Lut Tawar pada tahun 1946, demikian dikatakan saksi hidup Arifin Banta Cut.

Masyarakat Gayo lebih mengenal sining sebagai gerakan dan bukan sebagai tarian. Tetapi, setelah diteliti lebih lanjut ternyata Tari Sining merupakan sebuah tarian dan bahkan adalah unsur utama dalam tarian lainnya. Oleh karena itu, M. Yusin Saleh yang merupakan salah satu budayawan Aceh mengatakan bahwa Tari Sining adalah tarian paling tua diantara empat tarian tradisional Gayo.

Kemungkinan besar Tari Sining jarang ditarikan boleh jadi karena lunturnya  budaya masyarakat untuk membangun rumah panggung. karena sining ditarikan di atas bere lintang yang merupakan tiang utama rumah adat Gayo atau mungkin unsur tariannya menyusut ke dalam bentuk tari lain.

Pada tahun 2017 Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktorat Kesenian melakukan upaya revitalisasi terhadap tarian ini, salah satu usaha merekonstruksi tarian yang didasarkan pada penelitian serta diskusi panjang yang berkesinambungan dengan para budayawan dan akademisi lokal dan pada pertengahan Agustus lalu Tari Sining dinobatkan menjadi Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dari Takengon, Aceh Tengah.

===
Informasi dalam artikel ini bersumber dari video dokumenter "budaya saya" yang berjudul Tari Sining (https://www.youtube.com/watch?v=4UT0kBPTqMQ&t=966s) dan laman web lintasgayo.co (https://lintasgayo.co/2016/11/23/sinopsis-tari-sining-gayo) serta laman web Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbaceh/sining-tarian-dari-dataran-tinggi-gayo-yang-hampir-punah/)
Adapun narasumber dalam video yakni Arifin Banta Cut (Budayawan Aceh), Anna Kobat (Seniman), dan Salman Yoga S (Seniman dan Akademisi)


Komentar